Ini Nilai Kerugian yang Dialami Israel karena Gerakan Boikot

Ini Nilai Kerugian yang Dialami Israel karena Gerakan Boikot
Gerakan Boikot Israel

WARTASULUH.COM- Serangan Israel di Palestina yang semakin brutal membuat sebagian besar masyarakat dunia menyerukan boikot terhadap merek asal dan yang menyatakan dukungan terhadap Israel, Seiringan dengan hal tersebut, popularitas gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) pun semakin meningkat di beberapa negara.

Melansir dari laporan Al Jazeera pada 2018, gerakan BDS berpotensi menghasilkan kerugian hingga US$11,5 miliar atau sekitar Rp183,37 triliun (asumsi kurs Rp15.945/US$) per tahun bagi Israel.

Sementara itu, menurut laporan Times of Israel pada 2015, Kementerian Keuangan Israel mengungkapkan bahwa perekonomian negara bisa mengalami kerugian hingga US$10,5 miliar atau sekitar Rp167,43 triliun.

Selain itu, ribuan orang di Israel juga disebut berpotensi kehilangan pekerjaan jika negara tersebut diboikot secara penuh oleh internasional.

Gerakan boikot produk Israel lewat BDS

Mengutip dari laman resmi BDS Movement, BDS adalah gerakan boikot (penolakan) dari konsumen guna meyakinkan para pelaku perdagangan di seluruh dunia untuk berhenti menjual produk asal Israel. Akibatnya, eksportir Israel akan kesulitan untuk mengekspor produk mereka.

BDS juga bertujuan untuk memberikan tekanan ekonomi kepada Israel agar memberikan hak setara kepada Palestina.

Umumnya, gerakan BDS mencakup perusahaan yang melibatkan pemukiman ilegal, mengeksploitasi sumber daya alam dari tanah Palestina, dan menggunakan warga Palestina sebagai tenaga kerja murah.

Menurut laporan Al Jazeera pada 2018, dalam beberapa waktu terakhir misi prioritas diplomatik Israel adalah penanggulangan BDS. Bahkan, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, telah bertindak untuk melarang kelompok-kelompok yang mendukung gerakan BDS.

Lantas, apakah gerakan BDS ampuh membuat perekonomian Israel merosot?

Organisasi non-profit berbasis di Washington, Amerika Serikat (AS), Brookings Institution, menyatakan bahwa gerakan BDS tidak akan secara drastis mempengaruhi perekonomian Israel. Sebab, sekitar 40 persen ekspor Israel adalah barang "intermediet" atau produk tersembunyi yang digunakan dalam proses produksi barang di tempat lain, seperti semikonduktor.

Selain itu, sekitar 50 persen dari ekspor Israel adalah barang "diferensiasi" atau barang yang tidak dapat digantikan, seperti chip komputer khusus.

Namun, data dari Bank Dunia menunjukkan bahwa ekspor barang-barang "intermediet" mengalami penurunan tajam dari 2014 hingga 2016 sehingga menimbulkan kerugian sekitar US$6 miliar atau sekitar Rp95,67 triliun.

Klaim dari Israel

Melansir dari The Jerusalem Post, gerakan BDS tidak akan merugikan Israel dan tidak mampu meredakan penderitaan rakyat Palestina. Bahkan, gerakan BDS hanya akan "menambah penderitaan rakyat Palestina, bukan menguranginya".

Dalam artikel Desember 2022 tersebut, menurut mereka ada beberapa faktor yang membuat gerakan BDS "sia-sia" bagi Israel, yakni pola psikologis dan perekonomian.

1. Pola Psikologis

Dalam laporan The Jerusalem Post disebutkan bahwa gerakan BDS sia-sia karena menurut pola psikologis, jika seseorang atau perusahaan semakin sering diserang dan difitnah, maka semakin beragam tindakan defensif yang dilakukan.

"Alih-alih mengakui kesalahan, pihak yang disalahkan malah menginvestasikan sumber dayanya untuk membela diri atau menuntut balik," tulis The Jerusalem Post, dikutip Senin (16/10/2023).

"Pengalaman penganiayaan yang panjang membuat Israel lebih terlatih dan lebih mampu dalam mencegah serangan semacam itu (boikot)," lanjut tulisan tersebut.

2. Perekonomian

Menurut laporan Rand Corporation bertajuk "Kerugian Konflik Israel-Palestina" pada 2022, secara absolut Israel memperoleh keuntungan tiga kali lebih banyak daripada Palestina, yakni US$123 miliar atau sekitar Rp1.961 triliun selama 10 tahun.

Angka tersebut jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan Palestina yang hanya memperoleh hasil ekonomi sebesar US$50 miliar atau sekitar Rp797,3 triliun.

Namun, rata-rata pendapatan per kapita rakyat Palestina diklaim akan meningkat sekitar 36 persen pada 2024, lebih tinggi daripada rata-rata pendapatan per kapita Israel yang meningkat 5 persen.

"Kembalinya kekerasan akan menimbulkan konsekuensi ekonomi yang sangat negatif bagi warga Palestina dan Israel, yakni produk domestik bruto per kapita akan turun sebesar 46 persen di Tepi Barat dan Gaza, serta sebesar 10 persen di Israel pada 2024," tulis laporan Rand Corporation.