Menilik Kehidupan Petani Kelapa Inhil

Menggantungkan Asa Pada Butiran Kelapa, Habis Gelap Terbitlah Terang 

Menggantungkan Asa Pada Butiran Kelapa, Habis Gelap Terbitlah Terang 
Khasiran, rela meninggalkan kampung halaman demi benahi hidup lewat kelapa, (Foto : Sri Lestari)

WARTASULUH.COM, TEMBILAHAN - Langit terlihat biru terang hari itu tanpa awan, Sabtu (18/3/2023). Saat itu, pukul 10.00 WIB lebih tepatnya, Kampung Hidayat, Desa Teluk Dalam, Kecamatan Kuala Indragiri (Kuindra), Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), Provinsi Riau, tampak bermandi cahaya.

Kuasa Ilahi yang tak terbantahkan untuk patut disyukuri. Sinar matahari yang kaya kandungan ultraviolet, tak terhalang memanjakan kampung yang berjarak 20 kilometer dari Tembilahan, ibukota Kabupaten Inhil, dengan waktu tempuh sekitar 30 menit menggunakan speedboat.

Kehidupan ekonomi masyarakat di kampung kecil ini pun sudah tampak menggeliat. Riuh suara pedagang pernak-pernik seperti tasbih, gelang dan lainnya, bersahutan menjajakan dagangan kepada warga pendatang. Termasuk juga pedagang panganan khas setempat.   

Rupa, tak hanya masayarakat lokal saja yang wara-wiri di kampung ini. Ternyata kampung ini juga banyak dikunjungi warga luar.

Maklum, di desa ini juga terdapat situs makam bersejarah, makam ulama besar di Indragiri yaitu Syekh Abdurrahman Siddiq Bin Muhammad Afif Al-Banjari. 

Menurut warga setempat, Rizki, wisatawan yang datang berasal dari berbagai penjuru. Dari Kalimantan, Malaysia, Singapura, dan sebagainya.

"Tak hanya warga Inhil saja, masyarakat yang berkunjung juga dari luar Inhil, seperti Kalimantan. Bahkan dari negara lain seperti Malaysia dan Singapura. Makin ramai saat akhir pekan. Apalagi saat peringatan haul tuan guru (Syekh Abdurrahman Siddiq)," ujar pria muda yang berprofesi sehari-hari sebagai tukang ojek ini. 

Tak hanya sebagai kampung yang menjadi tujuan wisata religi, Kampung Hidayat, Desa Teluk Dalam ini ternyata memiliki potensi lain yang menjadi penopang hidup bagi masyarakat tempatan. Yang paling terbesar adalah kelapa. 

Ini  terbukti, di sepanjang perjalanan kampung, tampak hamparan perkebunan kelapa masyarakat menjadi sajian pemandangan yang bikin adem hati. Pohon kelapa yang menjulang tinggi  terjejer, berbaris rapi diantara kanal-kanal parit.

Di salah sudut lainnya, 'tercyduk' pemandangan yang lebih mengusik relung hati. Dua orang warga setempat, sedang berada di tumpukan ratusan, bahkan mungkin ribuan butir kelapa. Ada kelapa yang sudah dikupas, tapi ada sebagian besar yang masih utuh dengan kulit sabutnya.   

Khasiran menunggu Idrus yang sedang mengupas sabut kelapa (Foto: Sri Lestari)

Teridentifikasi, kedua orang itu adalah Khasiran dan Idrus. Keduanya adalah petani kelapa yang menggantungkan hidupnya dan keluarganya dari pohon kehidupan. Keduanya begitu ramah membalas sapa. Tanpa canggung, menjawab setiap tanya yang dilontarkan kepadanya.

Khasiran dan Idrus ternyata memiliki kapasitas berbeda di tumpukan kelapa, di tepi jalan kampung tersebut. Khasiran adalah si empunya ratusan butir kelapa. Sedangkan Idrus adalah buruh pengupas sabut kelapa yang dibayar Khasiran.

Si juragan kelapa itu bercerita tentang profesinya sebagai petani kelapa di kabupaten berjuluk Negeri Hamparan Kelapa Dunia.

"Saya merantau ke sini sejak usia muda. Meninggalkan kampung halaman di Jawa sekitar 48 tahun lalu," tutur Khasiran, yang saat dijumpai mengenakan atasan kaos singlet tersebut. 

Mengadu nasib di negeri orang, diakui ayah lima orang anak ini bukanlah perkara mudah. Berbagai pekerjaan demi untuk sesuap nasi yang saat ini dirinya masih lajang pun dilakoninya. 

Mulai dari jadi buruh kasar, buruh pengupas sabut kelapa hingga pekerjaan-pekerjaan lain pun sudah dijajal pria berusia 63 tahun ini. "Macem-macem pekerjaan. Yang penting bisa makan," katanya.

Kerja kerasnya agaknya tak sia-sia. Seiring berjalannya waktu, kehidupan ekonomi pria bertubuh kurus menjulang ini terus membaik. Kini dia punya kebun kelapa yang ditanami 350 pohon kelapa yang semuanya masih berproduksi.

"Alhamdulillah, sekarang punya 10 baris kebun kelapa. Ada 350 pokok," ungkapnya.

Lewat kebun yang dimilikinya inilah, Khasiran menggantungkan hidupnya dan keluarganya. Walau hanya bisa panen tiga bulan sekali dengan hasil panen tiga ton lebih per panen, Khasiran bisa menghidupi keluarganya.

"Tidak berlebih, tapi tidak kekurangan, keluarga kami cukup dari hasil panen kelapa," tuturnya.

Dengan harga kelapa yang saat ini cuma Rp1.500 per kilogram, diakui Khasiran, memang agak berat. Bahkan sebelumnya, sempat Rp700 per kilogram. Demi bisa tetap melanjutkan hidup, keluarganya pun harus bijaksana mengatur keuangan.

Khasiran sangat berharap pemerintah, khususnya Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Inhil bisa mencari jalan keluar untuk kembali mendongkrak harga kelapa. Minimal Rp3.000 per kilogram. 

Nominal yang disebutkannya wajar, agar ekonomi petani kelapa yang sekelas dirinya pun bisa normal. "Idealnya ya Rp3.000 per kilogram. Sudah beberapa tahun ini harga kelapa kami memang murah," keluhnya lirih.

Harapan senada juga disampaikan Idrus. Rupanya, selain berprofesi sebagai buruh pengupas sabut kelapa, Idrus juga merupakan petani kecil kelapa. 

"Kalau hanya mengandalkan hasil panen kelapa, rasanya sangat berat. Makanya saya juga nyambi sebagai buruh pengupas kelapa," ungkap pria paruh baya, yang jumlah pohon kelapanya masih jauh jika dibandingkan milik Khasiran.

Sebagai buruh pengupas sabut kelapa, Idrus mendapatkan upah Rp130 per butirnya. Dalam sehari, dia bisa mengupas 1.500 butir kelapa.

Buruh pengupas kelapa terpaksa dilakoni ayah tujuh orang anak ini. Rela berterik panas demi bisa menyekolahkan tiga orang anaknya yang kini masih mengenyam pendidikan di sebuah pesantren di Pulau Kalimantan.

"Kalau hanya mengandalkan hasil kebun kelapa, mana cukup untuk biaya hidup dan sekolah anak-anak," ungkap Idrus, yang mengaku empat orang anaknya yang lain sudah menikah.  

Sama seperti petani kelapa di Inhil lainnya, Idrus berharap harga kelapa kembali normal. "Besar harapan kami kepada pemerintah untuk menaikkan harga kelapa lagi. Kalau sekarang ini harganya terlalu murah," harapnya.

Kelapa Rakyat

Khasiran dan Idrus adalah bagian dari 67 persen masyarakat Kabupaten Inhil, yang menggantungkan hidup kepada kelapa. Bupati Indragiri Hilir (Inhil), HM Wardan melalui Plt Kepala Dinas Perkebunan (Kadisbun) Abdurahman SPi MSi, mengatakan, Kabupaten Inhil memiliki luas 18.812,67 KM persegi dengan jumlah penduduk 654.909 jiwa yang terdiri dari 20 kecamatan. 

“Kabupaten Inhil ini dijuluki Negeri Hamparan Kelapa Dunia, karena memiliki 341,072 Ha Kebun Kelapa Rakyat, atau 11 persen luas Kebun Kelapa Nasional,” terangnya pada Sabtu (18/3/2023) malam, dalam acara temu ramah dengan PWI Riau yang dipimpin Ketua PWI Riau Zulmansyah Sekedang, di satu rumah makan di tembilahan.

Kelapa, katanya, merupakan komoditas perkebunan paling banyak diusakan di Inhil, dimana lebih dari 67 persen dari total luas areal perkebunan rakyat ada di Inhil. “Sedangkan estimasi produksi perkebunan kelapa rakyat dalam bentuk butiran mencapai 5,5 miliar butir per tahun,” tutupnya.

Syukurnya, hal itu didukung oleh perusahaan swasta. Ahlim Ginting, Humas PT Pulau Sambu mengatakan, PT Pulau Sambu Group berkomitmen mensejahterakan petani kelapa. Hal ini dilakukan dengan berinovasi dalam pengolahan kelapa.

“50 tahun PT Pulau Sambu telah berkiprah dalam menyejahterakan masyarakat. Kita tetap akan membeli kelapa masyarakat dalam situasi apapun,” ungkapnya.

Ahlim juga memaparkan berbagai terobosan yang dilakukan PT Pulau Sambu, sebagai upaya untuk menaikan harga beli kepada petani kelapa.

“Kalau hanya untuk membuat minyak makan saja, maka sudah dapat dipastikan harga kelapa di Inhil ini akan anjlok. Tidak akan mencapai seribu rupiah per butirnya,” tambah Abdurahman.

Oleh karena itulah, PT Pulau Sambu membuat berbagai inovasi dalam menggarap kelapa hasil perkebunan rakyat. Di antaranya, membuat produk makanan yang berasal dari kelapa. (Sri Lestari)