Dihapus MK, Pasal Penghinaan Presiden Coba Dihidupkan Kembali di RKUHP
WARTASULUH.COM, PEKANBARU - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengungkapkan Mahkamah Konstitusi (MK) pernah menghapus Pasal Penghinaan terhadap Presiden pada 2006 silam namun saat ini coba dihidupkan kembali melalui Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Komisioner Komnas HAM Sandrayati Moniaga menyatakan dalam putusan MK Nomor 13-22/PUU-IV/2006 Mahkamah menyatakan Pasal 134, Pasal 136bis dan Pasal 137 KUHP tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
"Dinilai inkonstitusional yang artinya pasal-pasal ini sudah dianggap inkonstitusional, bertentangan pula dengan UUD 1945 dan semangat demokrasi," kata Sandrayati dalam diskusi virtual, Rabu (29/6).
Sandrayati mengatakan dalam pertimbangannya, Mahkamah menyebut seorang presiden dan wakilnya memang berhak dihormati secara protokoler.
Meski demikian, kata Sandrayati, mereka tidak bisa mendapatkan privilege sehingga mendapatkan kedudukan dan perlakuan yang mengakibatkan martabatnya di depan hukum berbeda dengan orang pada umumnya.
"Tidak dapat diberikan privilege yang menyebabkan memperoleh kedudukan dan perlakuan sebagai manusia secara substantif martabatnya berbeda di hadapan hukum," kata Sandrayati.
Selain itu, Mahkamah juga menilai tiga pasal tersebut bisa menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal ini karena suatu pernyataan, pendapat, maupun pikiran rentan ditafsirkan sebagai kritik atau penghinaan.
Selain itu, produk hukum kolonial Belanda itu juga dinilai bisa menghambat hak menyatakan pikiran, tulisan, ekspresi, dan sikap masyarakat.
"Tatkala ketiga pasal pidana yang dimaksud selalu digunakan aparat penegak hukum terhadap momentum-momentum unjuk rasa di lapangan," ujar Sandrayati.
Dihidupkan Kembali di RKUHP
Meski sudah dicabut MK, saat ini terdapat upaya menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam RKUHP.
Penghinaan terhadap dua pucuk pimpinan pemerintah itu sebelumnya diatur di dalam Pasal 134. Namun, sekarang diubah dan dituangkan dalam Pasal 218 dan 219.
Dalam draf RKUHP 2019, DPR menggunakan diksi penyerangan kehormatan atau martabat presiden dan wakil presiden.
"Definisi penyerangan yang dimaksud masih belum jelas," ujarnya.
Selain itu, tidak terdapat pernyataan secara tegas, pasti dan limitatif terkait perbuatan yang masuk dalam penyerangan martabat presiden.
Sandrayati mengingatkan pejabat publik merupakan subjek yang sah untuk menjadi sasaran kritik. Selain itu, pihaknya juga berpendapat aparat tidak bisa menghukum orang yang mengkritik negara dan simbol negara kecuali dimaksudkan pada kekerasan.
Komnas HAM berpendapat DPR perlu membedakan penyerangan kehormatan sebagai konsekuensi jabatan atau serangan terhadap kehormatan pejabat sebagai individu.
"Seseorang tidak dapat dihukum atas kritik dan penghinaan terhadap negara dan simbol negara kecuali bahwa kritik dan penghinaan tersebut dimaksudkan untuk kekerasan," ujar Sandrayati.