Sejarah Gaza & Tepi Barat, Titik Konflik Israel-Palestina

WARTASULUH.COM- Kelompok pejuang Palestina, Hamas, menyerang wilayah Israel pada Sabtu, (7/10/2023) lalu. Serangan itu difokuskan di wilayah Israel Selatan, yang berbatasan dengan basis kelompok itu, Jalur Gaza.
Serangan itu menandai ketegangan dan konflik berkepanjangan antara kedua pihak. Saat ini Israel telah mengadakan serangan balik skala besar, dengan korban di kedua sisi telah menembus angka ribuan.
Serangan Hamas ini merupakan salah satu rangkaian baru dalam sejarah Israel-Palestina. Selama beberapa dekade, media Barat, akademisi, pakar militer, dan pemimpin dunia menggambarkan konflik Israel-Palestina sebagai konflik yang sulit diselesaikan, rumit, dan menemui jalan buntu.
Pada intinya, konflik Israel-Palestina adalah pertikaian mengenai wilayah lahan, khususnya, siapa yang mempunyai hak untuk tinggal di wilayah antara Sungai Yordan dan Laut Mediterania. Tercatat, ada beberapa versi tergantung pihak mana yang ditanyai.
Meskipun Israel tidak pernah menggambarkan seluruh batas resminya, sebagian besar komunitas internasional mengakui garis gencatan senjata tahun 1949 antara Tel Aviv dan negara-negara Arab tetangganya. Dunia juga mengakui pembagian Yerusalem Timur dan Barat serta wilayah Gaza dan Tepi Barat yang menjadi milik Palestina.
Kepemilikan Wilayah
Pada awal abad ke-20, migrasi Yahudi ke mandat Inggris atas Palestina (saat itu masih dalam kekuasaan Inggris) meningkat pesat. Kedatangan mereka didorong oleh meningkatnya anti semitisme di Eropa dan meningkatnya gerakan nasional Yahudi yang dikenal sebagai Zionisme.
Pada tahun 1947, di tengah meningkatnya ketegangan antara warga Palestina dan milisi Zionis, PBB memutuskan untuk membagi Palestina menjadi negara-negara Yahudi dan Arab dan kota Yerusalem yang diperebutkan akan berada di bawah kendali internasional.
Sebagian besar kelompok Yahudi mendukung rencana tersebut, sementara kelompok Arab dan pemerintah negara-negara Arab menolaknya. Konfrontasi kekerasan antara kedua belah pihak semakin intensif, dan rencana PBB seperti yang direncanakan tidak pernah dilaksanakan.
Pada Mei 1948, setelah Inggris membubarkan mandatnya dari wilayah tersebut, para pemimpin Zionis mendeklarasikan Israel sebagai negara merdeka. Sekelompok negara Arab termasuk Mesir, Irak, Suriah, dan wilayah yang kemudian disebut Transyordania menyerbu, memicu Perang Arab-Israel pertama.
Ketika pasukan Israel merebut wilayah tersebut, ribuan warga Palestina terpaksa meninggalkan rumah mereka dan menjadi pengungsi dalam apa yang disebut sebagai "Nakba," atau bencana.
Yordania menduduki dan mencaplok Yerusalem Timur serta satu blok wilayah di sebelah Timurnya, sementara Mesir menduduki sebidang tanah di tepi pantai di utara Semenanjung Sinai yang mencakup Gaza.
Banyak pengungsi Palestina melarikan diri ke wilayah pendudukan Mesir dan Yordania. Wilayah Yordania kemudian dikenal sebagai "Tepi Barat" (Barat Sungai Yordan), sedangkan wilayah Mesir kemudian disebut "Jalur Gaza". Israel dan musuh-musuh Arabnya mencapai perjanjian gencatan senjata pada tahun berikutnya.
Perang 6 Hari
Pada tahun 1967, selama Perang Enam Hari, Israel melancarkan serangan pendahuluan terhadap Mesir dan Yordania. Mereka kemudian berhasil merebut Yerusalem Timur, Tepi Barat, dan Jalur Gaza, serta Semenanjung Sinai.
Meskipun Israel secara bertahap mengembalikan Sinai ke Mesir mulai tahun 1979 sebagai bagian dari negosiasi perdamaian, Israel telah menduduki wilayah lainnya sejak saat itu.
Israel secara resmi mencaplok Yerusalem Timur pada 1980 namun menunda penunjukan resmi yang sama di Tepi Barat dan Gaza. Sebaliknya, mereka terus membangun pemukiman besar-besaran di kedua wilayah tersebut, yang dinyatakan ilegal bagi para pendukung Palestina, sambil menyatakan bahwa status akhir pemukiman tersebut akan ditentukan dalam negosiasi di masa depan.
Intifada Pertama
Intifada atau yang berarti perlawanan dalam Bahasa Arab dilakukan Palestina pertama kali di Jalur Gaza pada bulan Desember 1987. Ini terjadi setelah empat warga Palestina tewas ketika sebuah truk Israel bertabrakan dengan dua van yang membawa pekerja Palestina.
Protes menyebar dengan cepat ke Tepi Barat dengan pemuda Palestina melemparkan batu ke tank dan tentara Israel. Hal ini juga menyebabkan berdirinya gerakan Hamas, sebuah cabang dari Ikhwanul Muslimin yang terlibat dalam perlawanan bersenjata melawan pendudukan Israel.
Respons keras tentara Israel dirangkum dalam kebijakan "Patah Tulang Mereka" yang dianjurkan oleh Menteri Pertahanan saat itu, Yitzhak Rabin. Aksi ini mencakup pembunuhan mendadak, penutupan universitas, deportasi aktivis, dan penghancuran rumah.
Intifada ditandai dengan mobilisasi rakyat, protes massal, pembangkangan sipil, pemogokan yang terorganisir dengan baik, dan kerja sama komunal. Menurut organisasi hak asasi manusia Israel B'Tselem, 1.070 warga Palestina dibunuh oleh pasukan Israel selama Intifada, termasuk 237 anak-anak. Lebih dari 175.000 warga Palestina ditangkap.
Intifada juga mendorong komunitas internasional untuk mencari solusi atas konflik tersebut.
Perjanjian Oslo
Intifada berakhir dengan penandatanganan Perjanjian Oslo pada tahun 1993 dan pembentukan Otoritas Palestina (PA), sebuah pemerintahan sementara yang diberikan pemerintahan mandiri terbatas di wilayah pendudukan Tepi Barat dan Jalur Gaza.
PLO mengakui Israel berdasarkan solusi dua negara dan secara efektif menandatangani perjanjian yang memberi Israel kendali atas 60 persen Tepi Barat, serta sebagian besar sumber daya tanah dan air di wilayah tersebut.
PA seharusnya memberi jalan bagi pemerintah Palestina terpilih pertama yang menjalankan negara merdeka di Tepi Barat dan Jalur Gaza dengan ibu kotanya di Yerusalem Timur, namun hal itu tidak pernah terjadi.
Kritikus PA memandangnya sebagai subkontraktor korup bagi pendudukan Israel yang bekerja sama erat dengan militer Tel Aviv dalam menekan perbedaan pendapat dan aktivisme politik. Pada tahun 1995, Israel membangun pagar elektronik dan tembok beton di sekitar Jalur Gaza, menghentikan interaksi antara wilayah Palestina yang terpisah itu.
Intifada Kedua
Intifada kedua dimulai pada tanggal 28 September 2000, ketika pemimpin oposisi Partai Likud Israel, Ariel Sharon, melakukan kunjungan provokatif ke kompleks Masjid Al Aqsa. Saat itu, ribuan pasukan keamanan dikerahkan di dalam dan sekitar Kota Tua Yerusalem.
Bentrokan antara pengunjuk rasa Palestina dan pasukan Israel menewaskan lima warga Palestina dan melukai 200 orang selama dua hari. Insiden ini memicu pemberontakan bersenjata yang meluas.
Selama Intifada, Israel menyebabkan kerusakan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap perekonomian dan infrastruktur Palestina. Israel menduduki kembali wilayah yang diperintah oleh PA dan memulai pembangunan tembok pemisah yang seiring dengan maraknya pembangunan pemukiman, menghancurkan mata pencaharian dan komunitas warga Palestina.
Pemukim Yahudi pun juga mulai bermukim secara ilegal di wilayah itu. Ruang bagi warga Palestina semakin menyusut karena jalan-jalan dan infrastruktur yang hanya diperuntukkan bagi pemukim Yahudi ilegal itu.
Pada saat Perjanjian Oslo ditandatangani, lebih dari 110.000 pemukim Yahudi tinggal di Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur. Saat ini, jumlahnya mencapai lebih dari 700.000 orang di lebih dari 100.000 hektar tanah yang diambil alih dari Palestina.
Perang Saudara Palestina
Pemimpin PLO Yasser Arafat meninggal pada tahun 2004. Setahun kemudian, Intifada kedua berakhir, pemukiman Israel di Jalur Gaza dibongkar, dan tentara Israel serta 9.000 pemukim meninggalkan daerah kantong tersebut.
Setahun kemudian, warga Palestina memberikan suara dalam pemilihan umum untuk pertama kalinya. Hamas memenangkan mayoritas. Namun, pecah perang saudara Fatah-Hamas yang berlangsung berbulan-bulan dan mengakibatkan kematian ratusan warga Palestina.
Hamas mengusir Fatah dari Jalur Gaza, dan Fatah kembali menguasai sebagian Tepi Barat. Pada bulan Juni 2007, Israel memberlakukan blokade darat, udara dan laut di Jalur Gaza, menuduh Hamas melakukan "terorisme".
Tepi Barat Hari Ini
PA secara resmi hanya mengelola 18% wilayah Tepi Barat, yang dikenal sebagai Area A, meskipun pasukan Israel masih dapat memasuki wilayah kekuasaan PA sesuka hati. Selain itu, PA juga mempunyai kendali administratif atas 22% wilayah lainnya di mana militer Israel mempunyai kendali keamanan.
Lalu mayoritas wilayah Tepi Barat (60%, dikenal sebagai Area C) diblokir untuk pemukiman Israel dan berada di bawah kendali Israel. Banyak organisasi hak asasi manusia terkemuka menyimpulkan bahwa kondisi yang dihadapi warga Palestina di Tepi Barat sama saja dengan apartheid.
Gaza Hari Ini
Gaza adalah rumah bagi 2,3 juta orang dan merupakan salah satu tempat terpadat di dunia. Dari perlintasan perbatasan masing-masing, Israel dan Mesir memutuskan siapa dan apa yang boleh masuk dan keluar wilayah tersebut, termasuk dukungan kemanusiaan.
Israel juga mengontrol pasokan listrik di jalur tersebut dan dapat mematikannya sesuka hati. Blokade tersebut telah menghancurkan perekonomian Gaza dan kualitas hidup warga di wilayah enklave itu.
Gaza saat ini sangat miskin. 80% warga Gaza bergantung pada bantuan untuk bertahan hidup, dan, bahkan sebelum pengepungan penuh pada minggu ini. 95% tidak memiliki akses terhadap air minum bersih.
Selain itu, sekitar separuhnya warga yang tak punya akses air itu tidak punya cukup makanan. Banyak dari mereka tidak dapat memperoleh perawatan medis yang layak karena sistem perizinan Israel yang sangat ketat.
Dari segi kekuasaan politik, Hamas masih memegang kendali hingga saat ini. Berbeda dengan Fatah, alasan utama Hamas adalah untuk melawan Israel.
Sejak blokade Israel dimulai pada tahun 2007, Israel telah melakukan empat serangan militer skala besar di Gaza, tidak termasuk operasi yang sedang berlangsung. Hamas secara teratur meluncurkan roket ke Israel, dan Israel membalas dengan cara yang sama.
Pertempuran di masa lalu telah menyebabkan banyak korban di pihak Palestina. Pada tahun 2019, Pengadilan Kriminal Internasional mengumumkan penyelidikan terhadap Hamas dan Israel atas dugaan kejahatan perang.