Filep Wamafma: Pemerintah Bisa Buat Kebijakan Lain Selain Otsus
Amandemen Undang-Undang (UU) otonomi khusus (otsus) di Provinsi Papua dan Papua Barat belum menyentuh substansi yang diharapkan.
WARTASULUH.COM, JAKARTA - Anggota Dewan Perwakilan daerah (DPD) RI dari Papua, Filep Wamafma menilai amandemen Undang-Undang (UU) otonomi khusus (otsus) di Provinsi Papua dan Papua Barat belum menyentuh substansi yang diharapkan.
"Ada dua pasal yang menjadi agenda amandemen itu belum menyentuh substansi yang diharapkan oleh masyarakat Papua dan Pemerintah daerah," kata Filep, Jumat (12/3/2021).
Menurut Filep, yang diharapkan oleh daerah adalah pembentukan dan pengusulan harus melalui mekanisme formal melalui persetujuan MRP/MRPB sebagaimana diamanatkan dalam UU Otsus.
“Kewenangan perubahan itu wajib mendapatkan pertimbangan dan persetujuan oleh rakyat Papua melalui majelis rakyat Papua, Pemerintah Papua, dan DPR Provinsi,” tandasnya.
Sehingga menurutnya, amandemen tersebut bisa sejalan dengan kehendak masyarakat melalui Lembaga resmi perwakilan rakyat di daerah tersebut.
“Sebagai wakil daerah, melihat kenyataan ini maka tentunya kami akan melakukan langkah langkah politik dalam rangka mengadvokasi apa yang menjadi kebutuhan di daerah. Artinya ketika pasal perubahan ini tidak mengakomodir kepentingan daerah, kita harus suarakan,” ujarnya.
Selanjutnya, ia menuturkan, adanya aspirasi penolakan yang digencarkan sejumlah pihak di daerah baik di kalangan masyarakat, kalangan elit, politik, tokoh adat, maupun tokoh masyarakat harus dievaluasi oleh pemerintah pusat. Termasuk persoalan seberapa maksimal, efektif, dan efisien peran otsus terhadap masyarakat Papua.
"Tentu, kita berharap sebagai wakil daerah agar ada transparansi dalam suatu publikasi komprehensif dari pemerintah, baik itu Pemerintah daerah maupun pemerintah pusat terkait dengan otonomi khusus 20 tahun berjalan ini," jelasnya.
Ia mengatakan, otsus yang seharusnya memproteksi Hak Orang Asli Papua, memberikan penghormatan pada orang Papua tidak berdampak signifikan dalam kehidupan atau kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut dibuktikan dengan Indeks Pembangunan Manusia yang masih rendah.
Adapun data pendukung dari BPS menjadikan indikator bahwa provinsi Papua, dan Papua Barat adalah provinsi yang termiskin di Indonesia.Ia menilai bahwa otonomi khusus masih sulit dilaksanakan secara maksimal dalam aspek hukum ketatanegaraan dan sistem pemerintahan di Indonesia.
Karena itu, jika memang dipandang perlu untuk tidak memberlakukan otsus kembali, Filep menilai hal itu bukanlah sebuah persoalan. Namun, catatan terpenting menurutnya menjawab permintaan masyarakat selama ini.
Ia menambahkan, Otonomi khusus di Papua kuat memperoleh penolakan karena memang rakyat Papua di kalangan grass root sebagian sudah tidak lagi percaya pada implementasinya.
Hal itu disandarkan pada sejumlah fakta terkait pelanggaran HAM, fakta politik, fakta hukum selama otsus berlangsung.
"Bagaimana cara atau langkah kita untuk meyakinkan kepada rakyat Papua bahwa UU otonomi khusus itu merupakan solusi terbaik bagi rakyat Papua? Karena menurut rakyat Papua dan kelompok kelompok di Papua bahwa otonomi khusus itu bukan solusi lagi,” ucapnya.
Ia menjelaskan, Pemerintah harus membuka ruang kepada semua pihak sehingga kebijakan yang diambil memperoleh legitimasi kuat dari rakyat.
"Kami posisi mengakomodir aspirasi rakyat, Pemerintah harus membuka ruang dialog semua stakeholder di Papua untuk mendengar secara langsung dan memberikan solusi kongrit dalam rangka kebijakan pembangunan," tuturnya.
Diharapkan pemerintah pusat juga membuka ruang bahwa otsus itu bukan salah satu kebijakan urgent bagi rakyat Papua. "Bagi saya otsus itu bukan kebijakan satu satunya, namun masih banyak kebijakan lain yang membangun Papua," cetusnya.
“Bagaimana kalau Papua tanpa otonomi khusus. Nah, ini yang harus dipikirkan oleh masyarakat Papua dan bukan sebaliknya Pemerintah memaksa otsus dengan segala konsekwensi yang ada," pungkasnya.
Ia menyatakan, jika memang dirasa tidak efektif. Pemerintah dapat merumuskan kebijakan lain yang bisa menjawab persoalan di Papua.
"Jangan memaksakan. Bahkan karena kebijakan ini, membuat sejumlah penolakan dari rakyat Papua. Hal ini memakan korban dari kalangan rakyat sipil dan ini sesuatu yang tidak bagus. Biarlah demokrasi memberikan ruang untuk menentukan," tambahnya. (Rls)