Menanggung Malu dan Dirugikan Akibat Pakai Paylater (Bagian II)
Oleh : Zulfa Amira Zaed/Jambi
MAYA (47), bukan nama sebenarnya merasa kesal setelah mendapat tagihan dari aplikasi agen perjalanan dengan layanan bayar nanti atau dikenal dengan paylater.
Sambil meneguk segelas lemon tea di hadapannya, ia menceritakan pengalaman yang tidak menyenangkan saat menggunakan layanan paylater untuk rencana berlibur.
Akhir tahun 2021 ia memesan kamar hotel di Pulau Bali menggunakan paylater dari salah satu aplikasi agen perjalanan.
Ketika memesan ia melakukan pembayaran sebesar hampir lima juta rupiah dengan tenor cicilan selama 12 bulan. Namun malang tak dapat ditolak, mujur tak bisa diraih, Maya yang seorang Aparatur Sipil Negara (ASN), ketika itu membatalkan niatnya untuk berlibur karena mematuhi surat edaran Menpan No. 26 tahun 2021, tentang pembatasan cuti dan larangan keluar kota bagi pegawai negeri selama tanggal 24 Desember 2021 sampai dengan 2 Januari 2022.
Sambil menyibak jilbab yang ia kenakan ke arah bahu, ia menjelaskan jika saat itu mengajukan pengembalian dana (refund) atas kamar hotel yang ia pesan dan disetujui aplikasi tersebut. Namun, ia kaget ketika mendapati tagihan paylater miliknya, ia harus membayar bunga dari pembayaran kamar hotel yang tidak jadi ia gunakan.
“Saya ditagih hampir satu juta lima ratus ribu rupiah dengan tenor 4 bulan cicilan. Saya kecewa dong, tidak jadi pakai hotelnya tapi ditagih begitu banyak. Padahal saya sudah mengajukan refund dan disetujui,” kata Maya pada 5 Januari 2023.
Ia mengajukan protes melalui costumer service karena keberatan dengan tagihan tersebut. “Berkali-kali saya hubungi costumer service untuk minta penjelasan kenapa saya harus bayar sesuatu yang tidak saya gunakan. Apa maunya untung doang tapi merugikan pengguna?” tegasnya.
Satu bulan lamanya ia mengajukan protes namun kesimpulan akhirnya ia tetap harus membayar tagihan tersebut. “Gaji saya di rekening otomatis dipotong bulan berikutnya sampai tiga bulan karena metode pembayaran cicilan telah diatur dengan cara autodebet rekening,” katanya.
Berbeda dengan Maya, Ria (20), bukan nama sebenarnya, mahasiswi sebuah Universitas Negeri di Kota Jambi merasa dipermalukan dengan penagihan paylater yang gagal ia bayar melalui orang-orang terdekatnya.
Tiga bulan pertama menggunakan paylater, pembayarannya lancar. Bisa dikatakan aman. Bulan keempat, ia tak bisa membayar tagihan paylater hingga menunggak 2 bulan lamanya. Tak lain, karena kesulitan keuangan.
Bak menelan pil pahit, ia rasakan ketika teman seperkuliahannya menegurnya untuk membayar hutang, bukan kepada teman tersebut, melainkan kepada sebuah aplikasi e-commerce dengan layanan paylater.
Dalam sehari Ria dihubungi oleh tiga orang terdekatnya, selain teman seperkuliahan, dua orang keluarganya juga dihubungi. Ia merasa dipermalukan dan dilanggar privasinya karena penagihan hutang yang gagal iya bayar.
“Malu itu pasti. Saat itu saya menggunakan layanan paylater untuk membeli kebutuhan sehari-hari karena orang tua terlambat mengirimkan uang bulanan,” kata Ria.
Orang tua Ria adalah seorang petani padi, nasib tak selalu mujur, ada kalanya mereka terlambat mengirimkan uang bulanan untuk Ria yang menimba ilmu di perantauan.
“Hutang saya kemarin sebesar hampir satu juta lima ratus ribu rupiah. Saya pikir tak akan sampai seperti itu. Saya kepepet keadaan, saya klik terus apa yang diminta aplikasi, saya setujui semua izin akses aplikasi juga syarat dan ketentuan berlaku ketika awal pengajuan. Ternyata akibatnya sampai menghubungi teman dan keluarga saya ketika saya menunggak,” katanya.
Cara menyikapi penagihan yang mengganggu kenyamanan pengguna
Wiwid Puspasari, Wakil Ketua I Satgas Waspada Investasi (SWI) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyampaikan cara efektif menggunakan utang saat webinar yang digelar Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada 15 Maret 2022.
“Bila pengguna mendapatkan penagihan dengan cara yang tidak beretika atau tidak sopan, bahkan sampai dilecehkan, pengguna berhak memblokir nomor penagih tersebut,” kata Wiwid.
Dalam kesempatan tersebut, ia juga menyarankan pengguna untuk meminjam sesuai kemampuan. “Gunakan hal tersebut untuk hal yang yang bermanfaat dan produktif. Selain itu pengguna juga harus memahami manfaat, biaya yang harus ditanggung, besaran bunga, jangka waktu, denda, dan risikonya,” katanya lagi.
Ilustrasi - Data pribadi adalah hak pengguna yang harus dilindungi. (Sumber : Pixabay)
OJK telah memiliki regulasi untuk mengatasi berbagai masalah terkait masalah perbankan, pinjaman online, termasuk tentang penagihan paylater. Masyarakat dapat mengadukan masalah tersebut melalui hotline OJK 147 atau melalui pesan whatsapp 081157157157.
Masyarakat juga bisa melaporkan masalah memalui email konsumen@ojk.go.id. Selain melaporkan kepada OJK, pengguna paylater juga bisa mengambil langkah hukum di pengadilan umum.
Dalam keterangan tertulisnya, Kenny Wiston Law Office menyampaikan, apabila muncul tagihan pembayaran paylater yang mana costumer merasa sangat yakin tidak menggunakan fitur tersebut, maka diperlukan pembuktian.
Terkait pembuktian, memerlukan alat bukti yang merujuk ke Pasal 1866 KUHPerdata yang terdiri dari bukti tertulis, bukti saksi, persankaan, serta pengakuan.
Pengguna bisa membicarakan penyelesaiannya kepada costumer sevice, namun jika pihak e-commerce masih tetap menagih pembayaran dan costumer dirugikan, maka dapat diajukan gugatan perdata dengan dasar Perbuatan Melawan Hukum sesuai pada Pasal 1365 KUHPerdata atau secara pidana dengan dasar perbuatan fitnah sesuai pada pasal 311 ayat (1) KUHP.***
Tulisan ini didukung oleh AJI Indonesia kerjasama dengan Bank Permata.