Ekspansi Korporasi HTI PT.WKS di Area Perhutanan Sosial; Solusi Pembangunan Perhutanan Sosial atau Masalah Baru?

Ekspansi Korporasi HTI PT.WKS di Area Perhutanan Sosial; Solusi Pembangunan Perhutanan Sosial atau Masalah Baru?

WARTASULUH.COM, JAMBI - PENGELOLAAN Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) atau yang dikenal dewasa ini sebagai Perhutanan Sosial merupakan sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak yang dijalankan oleh masyarakat desa hutan atau masyarakat adat untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya.

Perhutanan Sosial merupakan terobosan pengelolaan kawasan hutan yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan penguasaan melalui upaya pemberdayaan yang berpegang pada aspek kelestarian.

Melalui program Perhutanan Sosial, orientasi dan tujuan kebijakan kehutanan pun berubah dari yang semula hanya dalam rangka melibatkan masyarakat bergeser ke pemberdayaan masyarakat melalui pemberian akses pengelolaan hutan kepada masyarakat. Dari pendekatan state based menjadi pendekatan community based forest management atau pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Azas hutan lestari masyarakat sejahtera menjadi guidance utama dalam pengelolaan hutan.

Puncaknya, ditandai dengan lahirnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.83/MENLH/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial (baca: Permen LHK No.83/2016) yang mempermudah akses yang lebih luas kepada masyarakat desa hutan dan masyarakat adat untuk memanfaatkan dan mengelola kawasan hutan dengan berbagai skema pengelolaan hutan.

Sejak berlakunya Permen LHK No. 83/2016, Pemerintah pun terus berupaya memfasilitasi akses kelola bagi masyarakat guna memanfaatkan hutan secara berkelanjutan sesuai keberadaan dan peruntukan fungsi-fungsi kawasan hutan itu sendiri. Adapun bentuk-bentuk skema perhutanan sosial terdiri dari hutan desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Adat (HA), Kemitraan Kehutanan (KK), dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR).

Melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2015-2019), Pemerintah juga telah menetapkan target capaian Perhutaan Sosial seluas 12,7 juta hektare untuk Perhutanan Sosial. Tercatat, hingga September 2020, dari target seluas 12,7 juta hektare (ha), saat ini seluas 4,2 juta ha Perhutanan Sosial telah terealisasi.

Di Provinsi Jambi sendiri, dari total alokasi Perhutanan Sosial Provinsi Jambi seluas 340.893 ha berdasarkan PIAPS revisi IV, tercatat realisasi capaian Perhutanan Sosial Provinsi Jambi telah mencapai luasan seluas 200.511,73 Ha dengan total 411 SK izin Perhutanan Sosial atau hampir 60% dari total luas yang dialokasikan oleh Pemerintah dengan klasifikasi diantaranya Hutan Desa (HD) seluas 100.544,00 Ha (47 SK), Hutan Tanaman Rakyat (HTR) seluas 37,730,65 Ha (220 SK), Hutan Kemasyarakatan (HKM) seluas 28.123,00 Ha (57 SK), Kemitraan Kehutanan (KK) seluas 22.468,40 Ha (56 SK), dan Hutan Adat (HA) seluas 11.645,68 Ha (31 SK).

Dalam perkembangannya, sebagian besar izin-izin Perhutanan Sosial di Provinsi Jambi terbukti mampu menurunkan konflik tenurial selama ini. Program Perhutanan Sosial di Provinsi Jambi sebagian besar juga telah berhasil menciptakan peluang lapangan kerja baru melalui pengembangan usaha-usaha komunitas.

Namun sejak dikeluarkannya Peraturan Menteri LHK No 83/2016 tentang Perhutanan Sosial, ternyata program dan kebijakan ini juga memunculkan kekhawatiran bagi korporasi Hutan Tanaman Industri (HTI) yang selama ini begitu leluasa mendapatkan izin penguasaan hutan—bahkan memanfaatkan area hutan di luar konsesinya. Sejak dikeluarkannya Peraturan Menteri LHK No 83/2016, yang memperbolehkan dan mempermudah masyarakat di sekitar kawasan hutan negara untuk mengelola dan memanfaatkan kawasan hutan, korporasi Hutan Tanaman Industri (korporasi HTI) merasa khawatir ke depan akan terhambat untuk mendapatkan izin baru dalam rangka memperluas areal konsesinya terutama untuk mendapatkan areal baru yang relatif subur untuk ditanami dengan tanaman industry monokultur seperti kayu akasia, ekaliptus dan jabon. Korporasi HTI makin tertekan meruncing ketika pemerintah menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.

Moratorium ini sendiri adalah bagian dari upaya pemerintah untuk menurunkan laju deforestasi dan degradasi hutan. Inpres Nomor 5 tahun 2019 secara langsung memupus mimpi korporasi HTI skala besar untuk memperluas areal konsesinya, tidak terkecuali di Provinsi Jambi. Sehingga ada kegamangan dari perusahaan HTI bahwa mereka kedepannya akan kekurangan bahan baku, apalagi mereka tidak dapat lagi mendapatkan areal baru yang relatif subur untuk ditanami dengan kayu akasia, ekaliptus, jabon dan karet. Menghadapi kegamangan tersebut, perusahaan HTI ternyata tidak kehilangan akal. Mengapa?

Dari hasil kajian yang dilakukan Anti Illegal Logging Institute (AILInst), untuk mensiasati kondisi ini, pihak perusahaan HTI mulai mengatur strategi untuk pengembangan usahanya dengan cara justru dengan memanfaatkan izin-izin Perhutanan Sosial yang diusulkan oleh masyarakat seperti Hutan Tanaman Rakyat (HTR) sebagai pemasok kayu dan perluasan areal tanaman industri. Praktik ekspansif ini dilakukan dengan cara menjalin kerjasama kemitraan untuk pemanfaatan kayu dan pembangunan izin perhutanan sosial yang sudah didapatkan oleh koperasi maupun kelompok tani.

Pihak perusahaan HTI saat sekarang juga berperan sebagai pendamping masyarakat desa untuk mengusulkan areal Perhutanan Sosial dengan skema HTR layaknya seperti NGO dan Penyuluh Kheutanan Pemerintah. Perusahaan juga punya pendamping di desa yang tugasnya bersama-sama kepala desa, koperasi dan kelompok masyarakat untuk mengusulkan kawasan hutan produksi di sekitar desa menjadi HTR.

Untuk pembangunan areal izin HTR, sepenuhnya akan difasilitasi oleh perusahaan dengan tanaman yang sesuai dengan yang diusahakan perusahaan, seperti akasia, ekaliptus, jabon dan karet. Sebelum melakukan penanaman, terindikasi terlebih dahulu izin HTR dimanfaatkan untuk menebang kayu alam atau belukar tua. Kayu-kayu tersebut diindikasikan dijual kepada perusahaan HTI. Pada sisi lain, saat ini perusahaan HTI aktif melobby kelompok pengelola untuk melakukan kerjasama/kemitraan dalam pemanfaatan kayu dan pembangunan hutan tersebut. Perusahaan HTI saat ini juga mengembangkan skema pola kemitraan di areal penggunaan lain (APL) yang sudah dikelola atau ditanam oleh masyarakat dengan skema hutan rakyat.

Fenonema Ekspansi PT.WKS di Area Perhutanan Sosial

Salah satu perusahaan HTI di Provinsi Jambi yang aktif melakukan ekspansi areal ialah PT Wira Karya Sakti (PT.WKS), anak perusahaan Sinarmas Group. PT WKS merupakan pemasok (supplier) utama bahan baku industri ke pabrik pulp (bubur kertas) dan kertas PT Lontar Papyrus Pulp & Paper Industry (PT LPPPI), Asia Pulp & Paper (APP) Sinarmas Group, yang berlokasi di Tebing Tinggi Kabupaten Tanjung Jabung Barat. PT LPPPI mempunyai kapasitas industri eksisting sekitar 1,2 juta ton dari target sebesar 3 juta ton. Sehingga masih dibutuhkan pasokan kayu untuk menjamin kebutuhan pasokan pembuatan pulp dan kertas.

Untuk mencukupi permintaan kapasitas bahan baku ini, salah satu siasat yang dilakukan PT.WKS sebagai supplier ialah PT.WKS gencar melakukan ekspansi areal dengan memanfaatkan area perhutanan sosial sebagai pemasok kayu alam dan perluasan areal tanam melalui kerjasama kemitraan dengan HTR yang berbatasan langsung atau berdekatan dengan konsesi HTI nya.

Sepanjang pemantauan yang dilakukan, PT.WKS diketahui telah bermitra dengan 6 (enam) izin Perhutanan Sosial (5 HTR dan 1 HKM) dengan total luasan area mencapai 6.119,32 hektar yang tersebar pada 2 (dua) kabupaten yakni Batanghari dan Kabupaten Tebo diantaranya yakni di Kabupaten Batanghari terdiri dari Koperasi HTR Rimbo Karimah Permai (517,26 Ha), Koperasi HTR Alam Tumbuh Hijau (556,63 Ha), Koperasi HTR Hijau Tumbuh Lestari (678,10 Ha) dan Koperasi HTR Pajar Hutan Kehidupan (517,26 Ha). Sementara di Kabupaten Tebo, PT.WKS diketahui telah bermitra dengan 1 HTR dan 1 HKm yakni Koperasi HTR Teriti Jaya (2.516 Ha) dan HKM Gapoktan Muara Kilis Bersatu (1.126 Ha). Dari hasil observasi di lapangan, umumnya pengelola HTR berperan sebagai pemasok kayu dan areal penanaman bagi perusahaan HTI PT.WKS. Kegiatan pemanfaatan hutan di areal HTR yang telah dikerjasamakan ini sepenuhnya dilakukan oleh pihak PT.WKS mulai dari penataan blok kerja, pembibitan, persemaian, hingga penanaman. Keterlibatan pengelola HTR sangat minim dalam pemanfaatan hasil hutan kayu HTR. Dari informasi yang dihimpun, masing-masing HTR yang telah bermitra dengan PT.WKS ini telah mengantongi sertifikat Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dimana PT.WKS diduga mengurus segala kepentingan pengurusan izin SVLK tersebut mulai dari pengurusan hingga dukungan finansial.

Selain mengambil peran pendampingan bersama kelompok-kelompok masyarakat seperti koperasi, PT.WKS juga gencar melakukan lobi dan negosiasi pada kelompok pengelola hutan, khususnya HTR untuk melakukan kerjasama kemitraan dalam pemanfaatan kayu dan pembangunan areal izin perhutanan sosial khususnya koperasi pengelolaa HTR yang berdampingan dengan konsesinnya. Kuat dugaan bahwa PT.WKS juga membentuk satu ‘divisi khusus’ yang berperan sebagai pendamping masyarakat desa untuk mengusulkan areal PIAPS dengan skema HTR layaknya NGO dan Pemerintah. Aktor lapangan yang tidak lain adalah karyawan aktif PT.WKS, aktif melakukan komunikasi dan pendekatan kepada masayarat desa dan pemerintah desa untuk membentuk dan mendorong koperasi lalu kemudian mengusulkan kawasan hutan disepanjang desa menjadi HTR. Di tingkat tapak, peran actor ini sangat sentral bagi masyarakat desa/koperasi berkaitan dengan proses kemitraan dengan PT.WKS. Data menunjukan, sebagian besar izin HTR yang bekerjasama dengan PT.WKS terindikasi terdapat keterlanjuran pemanfaatan areal diluar konsesi perusahaan berupa penebangan kayu alam dan penanaman akasia yang dilakukan PT.WKS sebelum area tersebut dibebani izin HTR. Disamping koperasi, praktik ekspansif ini juga berupaya menargetkan kelompok pengelola HTR berbasis Kelompok Tani Hutan (KTH) yang berdampingan dengan konsesi HTI yang umumnya areal mereka telah terlanjur ditanami sawit namun akan segera dikonversi dengan tanaman kehutanan sesuai kewajiban Permen LHK No.83/2016. Diindikasikan PT.WKS melihat upaya konversi ini sebagai satu peluang untuk perluasan areal tanam bagi perusahaan mereka kelak dengan mendorong KTH-KTH untuk mengganti keterlanjuran tanaman sawit mereka dengan tanaman monokultur seperti akasia dan ekaliptus. Kuat dugaan, bahwa ekspansi areal yang dilakukan PT.WKS melalui pola dan strategi kemitraan ini jauh lebih luas jumlahnya dibandingkan dengan data temuan yang didapatkan sejauh ini.

Kemitraan HTI-HTR dari Sudut Pandang Regulasi

Pada dasarnya kerjasama kemitraan HTI-HTR dalam konteks ketentuan regulasi tidaklah menyalahi ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Memang, selain bahwa kerjasama kemitraan HTI-HTR memiliki dasar hukum sesuai Permen LHK No. 83/2016, saat ini ternyata perubahan regulasi mengenai HTR yang semula diatur dalam Permen LHK No. 83/2016 ke Permen LHK No.11/2020 tentang HTR, juga semakin menguatkan legal standing perusahaan HTI untuk melakukan ekspansi area. Jika sebelumnya pengaturan HTR terkandung di dalam Permen LHK No.83/2016, sejak berlakunya Permen LHK No.11/2020 ketentuan mengenai HTR yang semula diatur dalam Permen LHK No 83/2016 tentang Perhutanan Sosial, dinyatakan sudah tidak berlaku lagi. Pasal 35 Permen LHK No.11/2020 secara gamblang telah menyatakan seluruh ketentuan terkait HTR yang semula terdapat dalam Permen LHK.No.83/2016 dinyatakan dihapus.

Di dalam Permen LHK No 11/2020, terdapat sejumlah perubahan mendasar terutama pada aspek diperkuatnya legal standing perusahaan HTI untuk melakukan ekspansi di area Perhutanan Sosial melalui jalan kemitraan. Jika sebelumnya di dalam Pasal 38 ayat 2 dan 3 Permen LHK No.83/2016 kemitraan antara HTR-HTI memiliki batasan dan syarat tertentu yakni boleh dilakukan hanya jika pengelola HTR belum memiliki sumber daya yang memadai/mandiri dengan tujuan untuk keberlanjutan HTR itu sendiri, di lain pihak Pasal 24 ayat (2) dan (3) P11/2020 sama sekali tidak memberikan batasan tertentu.

Selain menjalin kemitraan, Pasal 29 ayat (3) Permen LHK P11/2020 juga memberikan kesempatan bagi perusahaan industri perkayuan untuk memfasilitasi pengelolaan HTR yang berada disekitar areal konsesinya layaknya NGO atau Pemerintah. Bisa dikatakan, Permen LHK P11/2020 memberikan akses yang luas bagi korporasi HTI untuk memanfaatkan areal Perhutanan Sosial skema HTR melalui pola kemitraan maupun fasilitasi.

Kemudian, Permen LHK No.11/2020 meski secara tegas telah menghapus seluruh kaidah di dalam Permen LHK No.83/2016, namun disisi lain P11/2020 masih menyebutkan Permen LHK No.83/2016 dalam konsiderannya. Selain itu Permen LHK No.11/2020 juga masih menimbulkan berbagai pertanyaan dimana dengan dikeluarkannya HTR dalam pengaturan tersendiri melalui Permen LHK No. 11/2020, pada satu sisi justru menjadikan HTR tidak lagi diasosiasikan sebagai bagian integral Perhutanan Sosial sesuai Permen LHK No.83/2016 selama ini.

Namun untuk usulan izin baru HTR, menurut Pasal 5 ayat 2 Permen LHK No. 11/2020 masih mengacu pada Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS).

Selain pada aspek tata kelola dan fasilitasi, perubahan norma juga menyentuh aspek prinsip dan tujuan HTR. Jika konsideran utama pembentukan Permen LHK No.83/2016 yang mengatur skema HTR bertitik berat untuk memperkuat kemandirian masyarakat dalam mengelola kawasan hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, pada Permen LHK No.83/2016, konsideran utama Permen LHK No.11/2020 sebagai payung hukum HTR saat ini memiliki perbedaan yang cukup signifikan dimana HTR cenderung memang diperuntukan bagi pemenuhan kebutuhan industri kayu semata, hanya saja pada penerapannya melibatkan masyarakat setempat. Selain itu, dihapuskannya ketentuan HTR dalam Permen LHK No.83/2016 melalui Pasal 35 Permen LHK No.11/2020, tentu menimbulkan pemaknaan bahwa hal ini akan berimplikasi pada tidak dianutnya prinsip-prinsip Perhutanan Sosial dalam ketentuan Permen LHK No.11/2020. Jika di Permen LHK No.83/2016 jangka waktu izin HTR diberikan selama 35 tahun (dan dapat diperpanjang) namun di dalam Permen LHK No.11/2020, jangka waktu izin HTR diberikan selama 60 tahun (dan dapat diperpanjang 35 tahun). Dari seluruh perubahan ini terlihat jelas bahwa paradigma ekonomi bisnis dalam Permen LHK No.11/2020 memang terasa lebih menguat. Permen LHK No.11/2020 juga terlihat lebih mengarahkan HTR mutlak untuk bisnis yakni memang diperuntukan bagi pemenuhan kebutuhan industri kayu, hanya saja pada penerapannya melibatkan masyarakat setempat.

Boleh jadi perubahan mendasar terkait pengaturan HTR di dalam Permen LHK No. 11/2020 dibandingkan dengan Permen LHK No.83 tahun 2016, secara normatif dianggap tidak menimbulkan masalah serius, akan tetapi harus dapat dipastikan bahwa turunan ketentuan ini kelak mampu memperjelas sejumlah ketentuan yang berubah semisal tentang kebijakan kemitraan, jangka waktu, dan fasilitasi HTR oleh Perusahan HTI ataupun industri kayu. Hal inj juga akan menimbulkan dinamika baru dalam pelaksanaannya karena sejauh ini swasta atau korporasi HTI tidak terintegrasi dalam Kelompok Kerja Perhutanan Sosial (Pokja PS) sebagai saluran utama forum multipihak dalam implementasi perhutanan sosial dari hulu ke hilir khususnya di daerah. Jadi tidak heran bila PT.WKS saat ini gencar melakukan ekspansi pemanfaatan area perhutanan social dengan startegi menjalin kemitraan dengan pengelola HTR maupun HKM bahkan aktif melakukan komunikasi dan pendekatan kepada masayarat desa/pemerintah desa untuk membentuk koperasi lalu kemudian mengusulkan kawasan hutan yang berdampingan dengan konsesinya disepanjang desa untuk diusulkan menjadi HTR.

Refleksi dan Upaya Bersama

Sebagaimana fenonema lapangan serta dinamika kebijakan yang berkembang saat ini yang semakin menguatkan legal standing HTI untuk melakukan ekspansi area di area perhutanan social khususnya skema HTR, kiranya semua pihak perlu mengambil sikap bahwa jika korporasi HTI atau industri kayu memiliki posisi seperti NGO atau pemerintah untuk bisa mengusulkan area PIAPS bersama masyarakat untuk diajukan sebagai HTR, maka bisa jadi kelak usulan izin baru Perhutanan Sosial akan didominasi skema HTR di area PIAPS kawasan hutan produksi yang masih produktif. Tentu saja, hal ini perlu menjadi keprihatinan kita bersama, mengingat bahwa pada dasarnya baik HTI dan HTR basis arealnya semestinya di atas kawasan hutan yang tidak produktif bukan yang masih memiliki kayu alam dan belukar tua yang masih bagus. Untuk itu ke depannya, tiap peruntukan PIAPS untuk usulan baru HTR ke depan harus benar-benar memperhatikan kondisi riil areal lapangan.

Semua pihak harus bersinergi. Ketiadaan pengaturan secara rinci tentang apa dan bagaimana perusahaan HTI memfasilitasi pembangunan izin HTR dikhawatirkan dapat memicu deforestasi di area Perhutanan Sosial itu sendiri. Belum lagi perihal perusahaan HTI maupun industri kayu yang bisa menjadi fasilitator izin Perhutanan Sosial skema HTR. Studi di lapangan membuktikan, pemanfaatan kawasan hutan oleh korporasi HTI secara langsung cenderung jauh lebih intensif dan destruktif. Dampak ekologis maupun dampak sosialnya jauh lebih besar pula.

Jika perusahaan HTI diberikan akses yang luas untuk memanfaatkan perhutanan sosial khususnya skema HTR hal ini tentu justru menimbulkan kekhawatiran bagi kita semua akan memicu deforestasi. Sehingga penting untuk memastikan bahwa penerapan kebijakan dan pelaksanaan kemitraan ini di lapangan dilaksanakan secara akuntabel, transparan, bertanggung gugat, serta terbuka untuk dilakukan pengawasan, monitoring serta audit tanpa kecuali terhadap PT.WKS sendiri.

Sumber foto : Pixabay